Film dokumenter merupakan karya seni yang memadukan antara gambar bergerak dan visual yang menceritakan sebuah peristiwa sejarah masa lalu maupun masa kini. Sebenarnya pertunjukan film di Indonesia sudah dikenal orang sejak tahun 1900 karena iklan yang tersebar di koran. Nah, baru pada tahun 1910an masyarakat baru mengenal tentang pembuatan film, yaitu film dokumenter, film berita atau film laporan.
Menurut Fauzan Santa dalam wawancaranya, bahwa sebelum tahun 2002, Indonesia mulai memproduksi film dokumenter yang menampilkan kisah-kisah reformasi 1998. Film ini kemudian juga diputar dan diikutkan dalam ajang-ajang film festival dunia. Bagaimana di Aceh? Ternyata Aceh juga tidak ketinggalan, sejak tahun 2002, sineas Aceh sudah memproduksi film dokumenter, terutama oleh kalangan aktivis kemanusiaan untuk mendorong perdamaian.
Perkembangan film dokumenter di Aceh sangat menonjol dari ke waktu, terutama secara kuantitas. Beliau juga menambahkan bahwa hingga saat ini Aceh telah banyak melahirkan komunitas-komunitas atau orang-orang yang secara individual bergerak dalam pembuatan film dokumenter. Mereka mulai memandang film sebagai salah satu media untuk mengungkapkan problematika sosial, ekonomi, dan budaya.
Jika kita melirik lebih jauh ke belakang, di Indonesia sendiri film dokumenter baru pertama sekali dibuat oleh pihak Belanda pada zaman Hindia Belanda, yaitu untuk melayani khalayak rumah di Belanda dan juga untuk membujuk masyarakat dalam mendukung kebijakan kolonial.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), film dokumenter digunakan sebagai alat propaganda. Film dokumenter adalah satu-satunya film bergenre diperbolehkan oleh Jepang. Saat itu, Jepang menutup banyak studio film milik pengusaha Belanda. Selama periode tersebut, Nippon Eigasha, di bawah kendali Seidenbu (Departemen Propaganda dari tentara Jepang) menghasilkan banyak film dokumenter (terutama warta berita) dan fitur dari propaganda perang Jepang (Sen, 1994, hal. 17).
Pihak Jepang mengembangkan peralatan proyektor portabel dan layar untuk mengambil film ke desa-desa (Hanan, 2012, hal. 107). Tidak mengherankan, ada dua bentuk umum dokumenter dalam periode ini, yaitu propaganda dan instruksional, seperti Di Bawah Bendera Nippon (bawah Nippon Bendera) (1942), Bekerdja (Work) (1943), Tentara Pembela (The Guardian Tentara) (1944) dan Perdjoeangan Kaoem Moeslim Soematra Baroe (Perjuangan di Sumatera Baru) (1945) (Prakosa, 1997, hlm. 180-181).
Film berjenis dokumenter baru berhasil diproduksi untuk pribumi setelah deklarasi kemerdekaan (1945), film dokumenter ini sebagian besar diproduksi oleh perusahaan film negara untuk mendokumentasikan semua program pemerintah. Pemerintah saat itu menggunakan film dokumenter sebagai alat untuk melakukan mobilisasi politik dan sosial.
Di masa Orde Baru, di mana Soeharto menjadi presiden Indonesia, film dokumenter telah banyak digunakan sebagai alat propaganda pembangunan untuk mempertahankan legitimasi developmentalis dan rezim otoriter. Film berjenis dokumenter umumnya didanai oleh kementerian.
Pada tahun 2000 – 2001, hampir tidak ada satu pun masyarakat yang yakin bahwa Indonesia juga bisa memproduksi film. Hal ini dikarenakan pada masa itu, seluruh bioskop-bioskop maupun siaran televisi telah dipenuhi oleh film-film impor. Namun, berkat kerja keras dan semangat sineas dalam mengembalikan perfilman nasional, mereka mulai meluncurkan film-film baru pada akhir tahun 2001. Film dokumenter yang dibuat anak Indonesia pun mulai tumbuh pesat. Jika sebelumnya film dokumenter hanya menjadi tugas pada sekolah atau kampus-kampus, kini film dokumenter mulai banyak diputar dan diperbincangkan di banyak tempat, terutama di luar negeri. Tokoh-tokoh film dokumenter pun mulai bermunculan. Garin Nugroho misalnya. Ia adalah Salah satu alumnus yang menonjol dari IKJ, yang menjadi pelopor dalam memerangi estetika Orde Baru film dokumenter.
Hadirnya film dokumenter di tengah perubahan zaman dapat me-review atau mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di beberapa tahun silam, bahkan dapat membangkitkan kembali citarasa atau memori lampau yang sempat hilang. Bukan hanya itu, lewat film dokumenter kita juga dapat memahami persoalan dan gejala yang sedang terjadi di lingkungan atau dunia luar tanpa rekayasa filmis, dan sepenuhnya bertumpu pada hasil riset, karena dokumenter adalah sebuah film nyata yang menghadirkan informasi benenaran mutlak.
Keberhasilan sineas-sineas muda Indonesia dalam memproduksi film dokumenter dengan berbagai jenis tidak bisa diragukan lagi. Pun bagi sineas Aceh, Jumlah karya mereka pun terbilang sangat banyak. Karya mereka setidaknya bisa ditonton langsung dalam setiap acara festival film di Aceh, seperti Aceh Film Festival (AFF). Aceh Film Festival (AFF) merupakan sebuah pesta film di Aceh yang dibuat secara Nasional.
Pemutaran film dokumenter pun tidak hanya dilakukan dalam ajang festival, sineas Aceh juga menunjukkan karyanya melalui layar tancap yang ditempatkan pada waktu-waktu tertentu di beberapa Gampong (desa). Bagi peminat yang ingin menikmati dan mengikuti rangkaian Aceh Film Festival, seperti Program Kelas Kritik Film, Kelas Aktor dan Special Screening bisa dengan terhormat berkunjung ke www.acehfilmfestival.com.
Rabu, 31 Agustus 2016
Home »
dokumenter
» Sekilas Film Dokumenter di Indonesia dan Geliat Film Festival di Aceh
0 komentar:
Posting Komentar